Pajak Reksa Dana Batal

Rencana pengenaan pajak final terhadap produk reksa dana batal. Menurut Dirjen Pajak Darmin Nasution, pemerintah mencabut usulan pajak final reksa dana karena banyak ditentang oleh masyarakat investor. "Jadi, saat pembahasan amendemen UU Pajak Penghasilan (PPh), usulan itu dicabut, sehingga yang berlaku hanya pajak normal," tegas Darmin usai RUPS tahunan dan luar biasa PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (5/6).

Sebelumnya, pemerintah mengusulkan kepada Pani-tia Kerja (Panja) RUU Pajak Penghasilan DPR untuk memberlakukan pajak final terhadap produk reksa dana sebesar 0,05%. Artinya, pemerintah akan memungut pajak sebesar itu apabila investor mencairkan dananya dari suatu produk reksa dana.

Namun, para manajer investasi meminta pemerin-tah tidak memberlakukan pajak tersebut. Selain menghambat pertumbuhan industri reksa dana, pengenaan pajak tersebut membuat kupon obligasi menjadi lebih mahal.

Darmin menegaskan, dengan pembatalan pajak fi-naj, maka ketentuan perpajakan bagi reksa dana tetap mengacu pada per-aturan yang saat ini berlaku. Saat ini reksa dana di bawah lima tahun yang berbasis obligasi (reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana campuran) bebas pajak. Pajak baru diberlakukan setelah berusia lima tahun. Karena itulah, para manajer investasi menyiasatinya dengan menutup produk reksa dana pen-dapatan tetap menjelang umur lima tahun.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) Abiprayadi Riyanto menilai keputusan pemerintah mengurungkan pajak final reksa dana sangat tepat. Sebab, reksa dana merupakan investasi jangka panjang yang justru membutuhkan insentif.

"Kalau investasi untuk jangka panjang diberi pajak, orang akan berpikir ulang. Buat apa investasi untuk jangka panjang, kalau toh tidak ada bedanya dengan investasi jangka pendek," ujar Abi kepada Investor Daily.

Dia mengkhawatirkan, rencana pengenaan pajak final reksa dana dapat memperlambat pertumbuhan investor.

Dampak negatifnya tidak sebanding dengan perolehan pajaknya yang tidak seberapa. Kondisi itu juga sangat ironis mengingat jumlah investor reksa dana sant ini masih relatif kecil dibandingkan negara lain.

Di Indonesia, rekening reksa dana hanya sekitar 246 ribu. Itu pun setiap nasabah mempunyai dua-tiga rekening reksa dana. Sedangkan di Malaysia, jumlahnya mencapai 12,2 juta rekening.

Jika dikenai pajak final, kata dia, investor baka] enggan untuk investasi pada reksa dana karena pengembalian dana {return) yang diperoleh tidak menarik. Sebab, return reksa dana di bawah lima tahun menjadi relatif kecil akibat potongan pajak. Padahal, return saat ini sangat menarik, sehingga mendorong industri reksa dana untuk bangkit kembali.

Pada Februari 2005. nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana pernah mencapai rekor Rp 113 triliun. Na-mun. pada Desember 2005 ambrol menjadi hanya Rp 29 triliun akibat badai redemption. Namun, 2006 mulai bangkit dengan pencapaian NAH sebesar Rp 52 triliun. Pada 2007, NAB menembus Rp 92 triliun. Per 4 Juni. NAB mencapai Rp 94,8 triliun NAB tersebut tidak termasuk discretionary fund.

Positif

Sementara itu, Direktur Schroder Investment Management Michael Tjoadi berpendapat, penghapusan rencana pengenaan pajak 0,05% sangat positif. Sebab, reksa dana merupakan salah satu industri yang perlu mendapat insentif khusus. Aturan pajak reksa dana sebaiknya tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku saat ini. Selama ini, pajak hanya dikenakan pada reksa dana dengan underlying aset obligasi lebih dari lima tahun.

"Di atas lima tahun reksa dana pendapatan tetap dikenakan pajak final 20% dari kupon obligasinya," kata Michael.

Michael mengatakan, pengenaan pajak final reksa dana membuat return yang diperoleh investor semakin kecil. Padahal, reksa dana merupakan salah satu instrumen investasi yang paling diminati investor ritel dengan potensi return tinggi. "Deposito sebagai alternatif investasi tak lagi menarik karena suku bunga cenderung rendah," ujarnya.

Menurut Michael, meski BI role dinaikkan ke level 8,5O/n. kondisi itu belum membuat investor mengalihkan dana mereka ke deposito. "Investor umumnya membidik reksa dana saham di tengah ketidakpastian pergerakan suku bunga. Apalagi, ancaman inflasi tinggi membuat nilai dana investor pada deposito tergerus." kata Michael.

Dia meyakini, dalam kondisi tersebut investor dipastikan memburu reksa dana saham sebagai pilihan utama. Selama ini. investor secara tidak langsung sudah membayar pajak atas reksa dana saham dan reksa dana pasar uang melalui transaksi manajer investasi di pasar sekunder. Pajak tidak langsung itu kemudian terefleksi pada fee transaksi yang dikenakan lagi kepada investor.

"Itu sebabnya kalau fee transaksi ditambah lagi beban pajak, hal itu memberatkan investor dan akan berdampak negatif ke industri," kata dia.

Dihubungi terpisah. Presiden Direktur Fortis Investment Eko Priyo Pratomo menilai, pembatalan pajak final reksa dana akan berdampak baik, karena memang dikehendaki pelaku pasar reksa dana selama ini.

Menurut Eko. para investor reksa dana sebenarnya perlu diberikan insentif untuk jangka panjang, karena jumlah dana-dana jangka panjang di Indonesia masih kecil.

Selain itu, lanjut Eko. pemerintah masih membutuhkan dana jangka panjang untuk membiayai APBN. Dana tersebut biasanya didapatkan dari penerbitan obligasi (SUN), di mana industri reksa dana menjadi pembeli terbesar.

Sedangkan Direktur Utama First State Investment Legowo Kusumo-negoro menambahkan, pemerintah harus memberi kepastian jadi-tidaknya pengenaan pajak final dan segera menyosialisasikan kepada investor dan manajer investasi. Hal itu perlu dilakukan supaya pelaku pasar tidak khawatir. (fei/epa/cll9)

 

Sumber :
Investor Daily Indonesia
Ditulis oleh Susi   
Jumat, 6 Juni 2008

Trackback from your site.

Leave a comment

You must be logged in to post a comment.

Essential Documents

Doing Business
in Indonesia.

UHY International

Doing Business Guide

News Archives