• Home
  • News
  • Antara siaran pers, rahasia bank & UU Pajak

Antara siaran pers, rahasia bank & UU Pajak

Sejumlah bankir tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya meski Ditjen Pajak-melalui siaran pers Direktorat Penyuluhan dan Humas-menjamin kerahasiaan perbankan tetap terlindungi sesuai ketentuan perpajakan sebelumnya.

Siaran pers Selasa pekan lalu itu tampaknya bertujuan meredam kegelisahan para bankir yang takut kehilangan nasabah akibat kerahasiaan bank diperlonggar.

Kegelisahan kalangan perbankan muncul setelah Humas Depkeu mengeluarkan siaran pers tentang Peraturan Menteri Keuangan No.201/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak-pihak yang Terikat oleh Ketentuan Merahasiakan, yang diteken Sri Mulyani Indrawati akhir Desember 2007.

Siaran pers Depkeu

Kalangan perbankan heboh karena siaran pers Biro Humas Depkeu No.07/ HMS/2008 tanggal 22 Januari 2008-yang diteken Kepala Biro Humas Depkeu Samsuar Said-itu diberi judul Menkeu Berhak Mengetahui Data WP di Bank.

Siaran pers itu tampaknya kurang membedakan antara data pihak ketiga (selain bank) yang bisa dibuka atas permintaan tertulis Dirjen Pajak dan penyidik pajak, dan data pihak ketiga khusus bank (Pasal rahasia bank) yang hanya bisa dibuka atas permintaan tertulis Menteri Keuangan.

Tanpa membaca isi siaran pers itu, orang dengan mudah tergiring untuk masuk ke dalam persepsi bahwa pokok yang dibahas di Permenkeu ini adalah data bank, bukan data yang lain.

Pada alinea pertama, misalnya, tertulis: Menkeu meniadakan kewajiban merahasiakan bagi pihak-pihak ketiga yakni bank, akuntan publik, notaris …dan seterusnya .. guna keperluan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dan penagihan pajak.

Kalimat itu langsung disambung dengan kata-kata: Pihak-pihak ketiga, berdasarkan permintaan secara tertulis dari Dirjen Pajak atau penyidik atau Menkeu kepada Gubernur BI dalam hal keterangan atau bukti yang diminta terkait kerahasian sebagaimana diatur dalam UU Perbankan, wajib memberikan keterangan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permintaan keterangan atau bukti surat izin dari pihak yang berwenang.

Kalau hanya membaca siaran pers tersebut, tanpa membaca Permenkeu Nomor 201/PMK.03/2007, jelas pembaca akan berkesimpulan bahwa Direktur Jenderal atau penyidik atau Menteri Keuangan bisa langsung mengajukan permintaan tertulis kepada Gubernur Bank Indonesia.

Kesimpulan ini semakin kuat karena pada alinea ketiga, Samsuar Said menulis: Permintaan keterangan atau bukti secara tertulis oleh Direktur Jenderal Pajak, Penyidik, atau Menteri Keuangan sekurang-kurangnya memuat: (a) identitas Wajib Pajak, (b) keterangan dan/atau bukti yang diminta, dan (c) maksud dilakukannya permintaan keterangan dan/atau bukti.

Salah baca

Permenkeu No. 201/PMK.03/2007 merupakan peraturan pelaksana atas Pasal 35 ayat (3) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang mulai berlaku awal tahun ini.

Siaran pers Ditjen Pajak, yang dimaksudkan untuk 'meluruskan' siaran pers Depkeu juga tidak sepenuhnya benar, meski tidak sekacau siaran pers Depkeu. Ditjen Pajak menyatakan secara umum ketentuan mengenai prosedur pengungkapan rahasia bank tidak ada yang berubah. Semua masih seperti yang dulu. Benarkah?

Mungkin ada baiknya kita kaji, jika perlu, kata demi kata untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai masalah ini. Pertama, kita lihat bagaimana Pasal 35 pada UU KUP yang lama dan UU KUP yang baru.

Pasal 35 UU KUP lama mengatur tentang kewajiban para pihak untuk memberikan data, bukti atau keterangan kepada Ditjen Pajak dalam rangka pemeriksaan pajak atau penyidikan pajak. Pasal 35 UU KUP baru ada perubahan pasal sekaligus substansinya.

Permintaan data tersebut tidak sebatas pada kegiatan pemeriksaan atau penyidikan pajak saja, tapi juga termasuk penagihan pajak.

Siapa yang berhak meminta data tersebut? Baik UU lama maupun UU baru, dua-duanya menyebut Direktur Jenderal Pajak. Khusus untuk bank, yang bisa meminta adalah Menteri Keuangan melalui surat tertulis kepada Gubernur Bank Indonesia.

Selama ini, paling tidak sepengetahuan penulis, tidak ada peraturan menkeu yang mengatur secara khusus masalah ini. Pasal 35 UU KUP lama memang tidak mengamanatkan adanya peraturan Menkeu.

Ini berbeda dengan UU KUP yang baru. Di sana jelas-jelas tertulis, tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terkait oleh kewajiban merahasiakan diatur dengan atau berdasarkan Permenkeu. Hasilnya, Menteri Keuangan pada 28 Desember 2007 menerbitkan peraturan nomor 201/PMK.03/2007.

Yang menjadi "sumber masalah" adalah Pasal 1 ayat (3) yang selengkapnya berbunyi:

Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud ayat (2) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dan penagihan pajak, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari: Dirjen Pajak atau penyidik pajak; atau Menteri Keuangan kepada Gubernur Bank Indonesia dalam hal keterangan atau bukti yang diminta terikat kerahasiaan sebagaimana diatur dalam UU Perbankan.

Pasal 1 ayat (3) Permenkeu ini memang bisa ditafsirkan berbeda oleh pembuatnya.

Ada kesan, bahwa semua kewajiban merahasiakan itu otomatis hilang atas permintaan tertulis dari Dirjen Pajak, penyidik pajak dan Menkeu. Kepala Biro Humas Depkeu tampaknya termasuk yang mempunyai kesan demikian.

Namun, bisa juga mempunyai arti lain (dan mudah-mudahan ini yang benar) bila diterjemahkan dengan lebih hati-hati. Haruf a (Dirjen Pajak dan penyidik pajak) khusus untuk data pihak ketiga kecuali bank, sedangkan huruf b (wewenang Menteri Keuangan) berlaku bila menyangkut kerahasiaan bank.

Meski demikian, memang ada beberapa catatan atas materi Permenkeu ini yang tampaknya kurang selaras dengan UU KUP. Catatan tersebut di antaranya adalah:

Pertama, UU menyebutkan permintaan data tersebut hanya dalam rangka pemeriksaan pajak, penyidikan pajak dan penagihan pajak. Namun dalam Permenkeu No.201/PMK.03/2007 disebutkan (1) pemeriksaan pajak, (2) pemeriksaan bukti permulaan, (3) penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, dan (4) penagihan pajak. UU KUP tidak menyebut "pemeriksan bukti permulaan".

Kedua, Permenkeu ini memperluas pihak yang bisa meminta data, termasuk penyidik pajak. Padahal UU hanya menyebut Dirjen Pajak. Penyidik pajak sama sekali tidak disebut. (parwito@bisnis.co.id)

oleh : Parwito – bisnis.com

Trackback from your site.

Leave a comment

You must be logged in to post a comment.

Essential Documents

Doing Business
in Indonesia.

UHY International

Doing Business Guide

News Archives